Selasa, 23 April 2013

Pemberlakuan hUKUM ADAT



BAB II
PEMBERLAKUAN HUKUM ADAT
Telah sama-sama kita ketahui bahwa salah satu kekhasan dari hukum adat adalah sifatnya yang tidak tertulis, hal ini karena hukum adat ada dan hidup dalam masyarakat pemakainya, bukan hukum yang dikodifikasi layaknya hukum pada rechstaat yang terkodifikasi oleh penguasa,22rule of law yang ditetapkan oleh hakim maupun hukum agama yang termaktub dalam kitab suci. Kekhasannya inilah yang menyebabkan hukum adat susah untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal penyelenggaraan pemerintahan. Namun hukum adat tetap diperhitungkan sebagai sebuah sistem hukum, karena defenisi hukum itu sendiri sangat luas, bukan hanya sebatas hukum yang tertulis, tapi juga hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat juga termasuk defenisi hukum itu sendiri.
Kalau dipermasalahkan keberadaan hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis, karena sebagian berpendapat hukum itu tertulis dan salah satu ciri negara hukum adalah adanya supremasi hukum, sebaiknya kita melihat esensi dari tujuan hukum itu sendiri, yaitu hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan serta ketertiban masyarakat. Hukum adat yang menitik beratkan tujuannya pada kerukunan, keserasian, keseimbagan, dan keselarasan masyarakat tidak bisa dibantah bahwa itulah keadilan dan ketertiban itu sendiri, sebab tidak akan ada kerukunan dan keseimbangan di tengah masyarakat kalau keadilan dan ketertiban tidak tercapai. Bahkan lebih jauh, keseimbangan maupunkerukunan yang diinginkan oleh hukum adat juga mencakup hubungan manusia dan sekitarnya, tidak sebatas keharmonisan sesama manusia saja seperti yang diterapkan pada hukum yang mendasari dirinya pada piloshopi individualistik.[1]
Terlepas dari persoalan itu, sebagai hukum yang hidup dan berkembang bersama perkembangan masyarakat itu sendiri, hukum adat menjadi sebuah sistem hukum yang mengedepankan penyelesaian sengketa atau persoalan masyarakat dengan asas kerukunan atau keseimbangan masyarakat itu sendiri. Hukum modern atau hukum dari Eropa yang lebih mengedepankan penyelesaian sengketa di pengadilan dengan biaya mahal dan berbelit, sedangkan hukum adat cukup mempertemukan pihak yang bersengketa dan dilanjutkan telaah menurut hukum adat oleh para tetua adat, lalu diputuskan. Perkara dengan hukum adat semacam ini sangat cepat, murah dan efisien. Bandingkan bila seseorang harus ke pengadilan yang membutuhkan waktu berbulan-berbulan dan biaya yang mahal untuk enyelesaikannya, kadang kala putusan yang dikeluarkan itupun jauh dari keadilan karena hakim memutus dengan subjektif dan tidak jarang memihak dan berat sebelah.
Kembali kepada konsepsi negara hukum, Indonesia dengan konsepsi Negara Hukum Pancasila memandang asas kerukunan adalah sebagai asas utama dalam penegakan hukum, dengan ini diharapkan akan adanya keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara hak dan kewajiban antar seluruh komponen masyarakat. Berhubungan dengan konsepsi tersebut, penegakan hukum di Indonesia sewajarnya diarahkan terlebih dahulu melalui mekanisme adat atau kebiasaan masyarakat itu sendir, agar nantinya kerukunan itu akan tetap terjadi. Contohnya saja, sengketa tanah dua warga yang diselesaikan di pengadilan lalu diputus oleh hakim si A menang dan si B tidak terima, selamanya antara si A dan B tidak rukun dan harmonis, malah pertentangan dan perselisihan akan semakin kuat pasca putusan hakim tersebut.
Akan berbeda jika sengketa tersebut diselesaikan menurut hukum adat, putusannya bukan oleh hakim adat tetapi oleh para pemangku adat atas nama seluruh masyarakat itu sendiri, para pihak yang bersengketa beserta para pemangku adat akan berembuk dan bermusyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam persoalan yang mereka hadapi. Jika telah diputuskan, kebanyakan para fihak akan menerima spenuh hati putusan itu sebab kedua fihak telah menemukan secara bersama kebenaran formil maupun materiil persoalan yang mereka sengketakan. Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat.
Kadang kita bertanya, berapa banyak peraturan hukum yang tidak efektif di negeri ini? Sementara harga yang harus ditanggung negara untuk setiap pembuatan UU tidaklah kecil, tapi kadang suatu UU hanya mampu dibuat tapi sulit dan cenderung tidak ingin untuk dilaksanakan, bukankah itu sebuah pemborosan uang negara. Jika hukum untuk mengatur masyarakat dibatasi pada hukum yang ada dalam UU maka hal ini berakibat pada keikutsertaan sistem hukum dalam menghabiskan uang negara cuma-cuma, tanpa ada hasil. Tidak efektifnya suatu UU kadang tidak sesuai dengan apa yang hidup dalam masyarakat itu sendiri, selain itu juga disebabkan oleh latahnya para legislator negeri ini dalam membuat UU yang sebenarnya persoalan tersebut bisa diselesaikan melalui mekanisme kearifan masyarakat saja, yaitu hukum adat. [2]
Seperti contoh penegakan hokum adat dalam masalah Hak Ulayat : Menteri Agraria / Kepala BPN Peraturan Nomor : 5 tahun 1999 . Tentang Pedoman Penyelesaian masalah Hukum Adat, Hak ulayat masyarakat dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat, Hukum adat yang nyata – nyata masih ada di daerah yang bersangkutan dengan penyelesaian sebagai berikut :
Mengenai muatan lokal pokok dan maksud dikeluarkannya peralihan peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsif pengakuan terhadap “ Hak ulayat dan hak- hak serupa itu dari masyarakat, Hukum Adat “ sebagaimana di maksud dalam pasal 3 undang – undang nomor. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok – pokok agraria ( Undang – Undang pokok Agraria ).
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
1.      Penyamaan Persepsi mengenai “ Hak Ulayat “ ( Pasal 1 ).
2.      Krateria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak – hak yang serupa dan masyarakat Hukum Adat ( Pasal 2 dan Pasal 5 ).
PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT
Pasal 2
1.      Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat Hukum Adat yang masih bersangkutan menurut ketentuan Hukum Adat setempat.
2.      Hak ulayat hukum adat dianggap masih ada apabila :
Ø  Terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan – ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari – hari.
Ø  Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekuatuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari – hari.
Ø  Terdapat tatanan Hukum Adat mengenai pengurusan dan penggunaan tanah ulayat berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Yang
Pasal 3
Pelaksanaan hak ulayat masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada pasal 2 olehperseorangan dan Badan hukum dapat dilakukan terhadap bidang – bidang tanah yang pada saat ditetapkannya peraturan daerah ( PERDA ) sebagaimana dimaksud pasal 6 :
1.      Sudah dipunyai oleh perseorangan atau Badan Hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang – Undang Pokok Agraria.
2.      Merupakan bidang – bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh Instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.
Pasal 4
1. Penguasaan Undang – Undang Tanah yang termasuk Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :
Ø  Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan, hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah sesuai menurut ketentuanUndang – Undang Pokok Agraria ;
Ø  Oleh Instansi Pemerintah, badan hukum dan perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang – Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum ada pun yang berlaku.
Ø  Pelepasan Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) untuk keperluan Pertanian dan keperluan lain yang memerlukan hak guna usaha atau hakpakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu.
TENTANG HAK ULAYAT
1.      Hukum adat tentang hak ulayat menerangkan tanah hutan kemasyarakat adalah dikuasai oleh Pemerintah sepenuhnya sesuai Undang – Undang dan peraturan yang berlaku.
2.      Hak ulayat yang berbunyi tentang tanah hutan kemasyarakatan yang diatur olehPemerintah sesuai Undang – Undang 1945 adalah Tanah hutan kemasyarakatan yang dikuasai oleh Desa masing – masing atau tata batas antara Desa dengan Desa lain. Serta pengembangan terhadap pengembangan pembangunan Desa.
MAKSUD DAN TUJUAN HUKUM ADAT TENTANG HAK ULAYAT.
1.      Sejak zaman leluhur sejak terjadinya peristiwa peristiwa – peristiwa bentrok yang berkepanjangan atau pertikaian antara suku – suku dayak pedalaman, sehingga terjadinya kesepakatan antara Tokoh – Tokoh masyarakat Dayak dari semua penjuruKampung – kampung akan mengadakan rapat Kepala Suku dan Damang – Damang di Tumbang Anoi sejak tahun 1894 adalah perdamaian antara Suku – Suku DayakKalimantan pada umumnya. /
2.      Penjelasan tentang hak ulayat yang diatur oleh hukum adat yang menyangkut, pohon-pohon besar yang dianggap keramat bagi Suku Dayak, sitas – sitas yang bersifat sakral, sandung – sandung / kuburan yang dikeramatkan, serta membuka hutan yang diberi tanda / sariang, hal ini berarti ada masyrakat yang ingin membuka lahan hutan untuk tujuan berladang atau berkebun.
3.      Tutur kutak dari Nenek Moyang / Leluhur mengatakan hak ulayat sebenarnya menyangkut Hukum, Adat Dayak adalah dari sisi sungai dibunyikan sebuah gong, jika masih terdengar dari atas atau ke darat berarti itulah. Hak ulayat sesuai hukum adat dayak seluas ± 5 km.

















BAB III
PENUTUP
Sebagai sebuah kaedah hukum yang bertujuan menciptakan kerukunan dan keseimbangan dalam masyarakat, keberadaan hukum adat dalam sebuah negara hukum mutlak diperlukan, sebab supremasi hukum sebagai ciri dari negara hukum bukan sebuah kata akhir, tapi sebagai suatu cara untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dilihat dari tujuannya, semua sistem hukum mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menciptakan kedilan, ketertiban dalam masyarakat serta menjamin hak setiap anggota masyarakat agar terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Mahal dan butuh waktu lama dalam sistem peradilan di Indonesia akan membuat hukum itu terasa berat untuk dilaksanakan, belum lagi ditambah dengan sulitnya di masa sekarang mendapatkan keadilan secara substantif karena perilaku penegak hukum yang bobrok semakin membuat pengadilan bukan menjadi tempat untuk mendapatkan keadilan. Sementara itu, biaya murah dan prosedur tidak berbelit serta waktu yang sebentar, hukum adat menjadi sebuah alternatif tempat bagi setiap pencari keadilan.
Selanjutnya, hukum yang tertulis dalam UU maupun putusan hakim kadang kala hanya menjadi sebuah hukum fantasia belaka, karena hanya dituliskan tanpa mampu dilaksanakan. Berbeda halnya dengan hukum adat yang memang telah hidup sejak ratusan tahun lalu dan telah terjadi berulang-ulang penerapannya dalam masyarakat itu sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum adat memang telah teruji pemberlakuannya.
Negara hukum Pancasila merupakan bentuk prismatik dari semua sistem hukum, yaitu bergabungnya semua unsur baik dari semua sistem hukum yang ada. Oleh sebab itu, maka hukum adat sebenarnya harus mendapatkan tempat yang layak dalam sistem hukum di dalam negara hukum Indonesia, karena hukum adat merupakan hukum asli orang Indonesia dan merupakan karya cipta bangsa Indonesia itu sendiri. Selanjutnya, hukum adat lebih sesuai dengan karakter, kepribadian, serta kebudayaan Indonesia dibandingkan dengan hukum lainnya, baik rechstaat, rule of law maupun Nomokrasi Islam.
Sebagai sebuah negara yang baru seumur jagung, kalau dibandingkan dengan negara hukum yang mapan lainnya, negara hukum Indonesia sebaiknya jangan serta merta mengikuti pola negara hukum yang ada di negara lain, tapi harus selalu berusaha menjaga keaslian budaya, atau bahkan lebih baik dilakukan perkawinan antara hukum yang yang datang dari luar dengan hukum yang hidup dan berkembang dalam msyarakat Indonesia itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007;


[1] . 13 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya : Bina Ilmu, 1987), hlm. 90.

[2] Imam Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat…., hlm. 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar