BAB II
PEMBERLAKUAN HUKUM ADAT
Telah
sama-sama kita ketahui bahwa salah satu kekhasan dari hukum adat adalah
sifatnya yang tidak tertulis, hal ini karena hukum adat ada dan hidup dalam
masyarakat pemakainya, bukan hukum yang dikodifikasi layaknya hukum pada rechstaat
yang terkodifikasi oleh penguasa,22rule
of law yang ditetapkan oleh hakim maupun hukum agama yang termaktub dalam
kitab suci. Kekhasannya inilah yang menyebabkan hukum adat susah untuk
diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam hal
penyelenggaraan pemerintahan. Namun hukum adat tetap diperhitungkan sebagai
sebuah sistem hukum, karena defenisi hukum itu sendiri sangat luas, bukan hanya
sebatas hukum yang tertulis, tapi juga hukum yang tidak tertulis seperti hukum
adat juga termasuk defenisi hukum itu sendiri.
Kalau
dipermasalahkan keberadaan hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis,
karena sebagian berpendapat hukum itu tertulis dan salah satu ciri negara hukum
adalah adanya supremasi hukum, sebaiknya kita melihat esensi dari tujuan hukum
itu sendiri, yaitu hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan serta ketertiban
masyarakat. Hukum adat yang menitik beratkan tujuannya pada kerukunan,
keserasian, keseimbagan, dan keselarasan masyarakat tidak bisa dibantah bahwa
itulah keadilan dan ketertiban itu sendiri, sebab tidak akan ada kerukunan dan
keseimbangan di tengah masyarakat kalau keadilan dan ketertiban tidak tercapai.
Bahkan lebih jauh, keseimbangan maupunkerukunan yang diinginkan oleh hukum adat
juga mencakup hubungan manusia dan sekitarnya, tidak sebatas keharmonisan
sesama manusia saja seperti yang diterapkan pada hukum yang mendasari dirinya
pada piloshopi individualistik.[1]
Terlepas
dari persoalan itu, sebagai hukum yang hidup dan berkembang bersama
perkembangan masyarakat itu sendiri, hukum adat menjadi sebuah sistem hukum
yang mengedepankan penyelesaian sengketa atau persoalan masyarakat dengan asas
kerukunan atau keseimbangan masyarakat itu sendiri. Hukum modern atau hukum
dari Eropa yang lebih mengedepankan penyelesaian sengketa di pengadilan dengan
biaya mahal dan berbelit, sedangkan hukum adat cukup mempertemukan pihak yang
bersengketa dan dilanjutkan telaah menurut hukum adat oleh para tetua
adat, lalu diputuskan. Perkara dengan hukum adat semacam ini sangat cepat,
murah dan efisien. Bandingkan bila seseorang harus ke pengadilan yang
membutuhkan waktu berbulan-berbulan dan biaya yang mahal untuk enyelesaikannya,
kadang kala putusan yang dikeluarkan itupun jauh dari keadilan karena hakim
memutus dengan subjektif dan tidak jarang memihak dan berat sebelah.
Kembali
kepada konsepsi negara hukum, Indonesia dengan konsepsi Negara Hukum Pancasila
memandang asas kerukunan adalah sebagai asas utama dalam penegakan hukum,
dengan ini diharapkan akan adanya keseimbangan, keserasian dan keselarasan
antara hak dan kewajiban antar seluruh komponen masyarakat. Berhubungan dengan
konsepsi tersebut, penegakan hukum di Indonesia sewajarnya diarahkan terlebih
dahulu melalui mekanisme adat atau kebiasaan masyarakat itu sendir, agar nantinya
kerukunan itu akan tetap terjadi. Contohnya saja, sengketa tanah dua warga yang
diselesaikan di pengadilan lalu diputus oleh hakim si A menang dan si B tidak
terima, selamanya antara si A dan B tidak rukun dan harmonis, malah
pertentangan dan perselisihan akan semakin kuat pasca putusan hakim tersebut.
Akan
berbeda jika sengketa tersebut diselesaikan menurut hukum adat, putusannya
bukan oleh hakim adat tetapi oleh para pemangku adat atas nama seluruh
masyarakat itu sendiri, para pihak yang bersengketa beserta para pemangku adat
akan berembuk dan bermusyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam persoalan
yang mereka hadapi. Jika telah diputuskan, kebanyakan para fihak akan menerima
spenuh hati putusan itu sebab kedua fihak telah menemukan secara bersama
kebenaran formil maupun materiil persoalan yang mereka sengketakan. Bulat air
karena pembuluh, bulat kata karena mufakat.
Kadang
kita bertanya, berapa banyak peraturan hukum yang tidak efektif di negeri ini?
Sementara harga yang harus ditanggung negara untuk setiap pembuatan UU tidaklah
kecil, tapi kadang suatu UU hanya mampu dibuat tapi sulit dan cenderung tidak
ingin untuk dilaksanakan, bukankah itu sebuah pemborosan uang negara. Jika
hukum untuk mengatur masyarakat dibatasi pada hukum yang ada dalam UU maka hal
ini berakibat pada keikutsertaan sistem hukum dalam menghabiskan uang negara
cuma-cuma, tanpa ada hasil. Tidak efektifnya suatu UU kadang tidak sesuai
dengan apa yang hidup dalam masyarakat itu sendiri, selain itu juga disebabkan
oleh latahnya para legislator negeri ini dalam membuat UU yang sebenarnya
persoalan tersebut bisa diselesaikan melalui mekanisme kearifan masyarakat
saja, yaitu hukum adat. [2]
Seperti
contoh penegakan hokum adat dalam masalah Hak Ulayat
: Menteri Agraria / Kepala BPN Peraturan Nomor : 5
tahun 1999 . Tentang Pedoman Penyelesaian
masalah Hukum Adat, Hak ulayat masyarakat dapat dipergunakan sebagai pedoman
dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya hubungan dengan masalah
hak ulayat masyarakat, Hukum adat yang nyata – nyata masih ada di daerah yang
bersangkutan dengan penyelesaian sebagai berikut :
Mengenai
muatan lokal pokok dan
maksud dikeluarkannya peralihan peraturan ini memuat kebijaksanaan yang
memperjelas prinsif pengakuan terhadap “ Hak ulayat dan hak- hak serupa itu
dari masyarakat, Hukum Adat “ sebagaimana di maksud dalam pasal 3 undang –
undang nomor. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok – pokok agraria (
Undang – Undang pokok Agraria ).
Kebijaksanaan
tersebut meliputi :
1. Penyamaan Persepsi mengenai “ Hak Ulayat
“ ( Pasal 1 ).
2. Krateria dan penentuan masih adanya hak
ulayat dan hak – hak yang serupa dan masyarakat Hukum Adat ( Pasal 2 dan Pasal
5 ).
PELAKSANAAN
PENGUASAAN TANAH ULAYAT
Pasal
2
1. Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada
kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat Hukum Adat yang masih
bersangkutan menurut ketentuan Hukum Adat setempat.
2.
Hak
ulayat hukum adat dianggap masih ada apabila :
Ø Terdapat sekelompok orang yang masih
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan – ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupannya sehari – hari.
Ø Terdapat tanah ulayat tertentu yang
menjadi lingkungan hidup para warga persekuatuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari – hari.
Ø Terdapat tatanan Hukum Adat mengenai
pengurusan dan penggunaan tanah ulayat berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut. Yang
Pasal
3
Pelaksanaan
hak ulayat masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada pasal 2
olehperseorangan dan Badan hukum dapat dilakukan terhadap bidang – bidang tanah
yang pada saat ditetapkannya peraturan daerah ( PERDA ) sebagaimana dimaksud
pasal 6 :
1.
Sudah
dipunyai oleh perseorangan atau Badan Hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut
Undang – Undang Pokok Agraria.
2.
Merupakan
bidang – bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh Instansi
Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang
berlaku.
Pasal
4
1.
Penguasaan Undang – Undang Tanah yang termasuk Tanah Ulayat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :
Ø Oleh warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan, hukum adatnya yang
berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai
hak atas tanah sesuai menurut ketentuanUndang – Undang Pokok Agraria ;
Ø Oleh Instansi Pemerintah, badan hukum
dan perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak
atas tanah menurut ketentuan Undang – Undang Pokok Agraria berdasarkan
pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat
hukum adat itu oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum ada
pun yang berlaku.
Ø Pelepasan Tanah Ulayat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf (b) untuk keperluan Pertanian dan keperluan lain
yang memerlukan hak guna usaha atau hakpakai, dapat dilakukan oleh masyarakat
hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu.
TENTANG
HAK ULAYAT
1.
Hukum
adat tentang hak ulayat menerangkan tanah hutan kemasyarakat adalah dikuasai
oleh Pemerintah sepenuhnya sesuai Undang – Undang dan peraturan yang berlaku.
2.
Hak
ulayat yang berbunyi tentang tanah hutan kemasyarakatan yang diatur
olehPemerintah sesuai Undang – Undang 1945 adalah Tanah hutan kemasyarakatan
yang dikuasai oleh Desa masing – masing atau tata batas antara Desa dengan Desa
lain. Serta pengembangan terhadap pengembangan pembangunan Desa.
MAKSUD
DAN TUJUAN HUKUM ADAT TENTANG HAK ULAYAT.
1.
Sejak
zaman leluhur sejak terjadinya peristiwa peristiwa – peristiwa bentrok yang
berkepanjangan atau pertikaian antara suku – suku dayak pedalaman, sehingga
terjadinya kesepakatan antara Tokoh – Tokoh masyarakat Dayak dari semua
penjuruKampung – kampung akan mengadakan rapat Kepala Suku dan Damang – Damang
di Tumbang Anoi sejak tahun 1894 adalah perdamaian antara Suku – Suku
DayakKalimantan pada umumnya. /
2. Penjelasan tentang hak ulayat yang
diatur oleh hukum adat yang menyangkut, pohon-pohon besar yang dianggap keramat
bagi Suku Dayak, sitas – sitas yang bersifat sakral, sandung – sandung /
kuburan yang dikeramatkan, serta membuka hutan yang diberi tanda / sariang, hal
ini berarti ada masyrakat yang ingin membuka lahan hutan untuk tujuan berladang
atau berkebun.
3. Tutur kutak dari Nenek Moyang / Leluhur
mengatakan hak ulayat sebenarnya menyangkut Hukum, Adat Dayak adalah dari sisi
sungai dibunyikan sebuah gong, jika masih terdengar dari atas atau ke darat
berarti itulah. Hak ulayat sesuai hukum adat dayak seluas ± 5 km.
BAB III
PENUTUP
Sebagai
sebuah kaedah hukum yang bertujuan menciptakan kerukunan dan keseimbangan dalam
masyarakat, keberadaan hukum adat dalam sebuah negara hukum mutlak diperlukan,
sebab supremasi hukum sebagai ciri dari negara hukum bukan sebuah kata akhir,
tapi sebagai suatu cara untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat. Dilihat
dari tujuannya, semua sistem hukum mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk
menciptakan kedilan, ketertiban dalam masyarakat serta menjamin hak setiap
anggota masyarakat agar terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Mahal
dan butuh waktu lama dalam sistem peradilan di Indonesia akan membuat hukum itu
terasa berat untuk dilaksanakan, belum lagi ditambah dengan sulitnya di masa
sekarang mendapatkan keadilan secara substantif karena perilaku penegak hukum
yang bobrok semakin membuat pengadilan bukan menjadi tempat untuk mendapatkan
keadilan. Sementara itu, biaya murah dan prosedur tidak berbelit serta waktu
yang sebentar, hukum adat menjadi sebuah alternatif tempat bagi setiap pencari
keadilan.
Selanjutnya,
hukum yang tertulis dalam UU maupun putusan hakim kadang kala hanya menjadi
sebuah hukum fantasia belaka, karena hanya dituliskan tanpa mampu dilaksanakan.
Berbeda halnya dengan hukum adat yang memang telah hidup sejak ratusan tahun
lalu dan telah terjadi berulang-ulang penerapannya dalam masyarakat itu
sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum adat memang telah teruji
pemberlakuannya.
Negara
hukum Pancasila merupakan bentuk prismatik dari semua sistem hukum, yaitu
bergabungnya semua unsur baik dari semua sistem hukum yang ada. Oleh sebab itu,
maka hukum adat sebenarnya harus mendapatkan tempat yang layak dalam sistem
hukum di dalam negara hukum Indonesia, karena hukum adat merupakan hukum asli
orang Indonesia dan merupakan karya cipta bangsa Indonesia itu sendiri.
Selanjutnya, hukum adat lebih sesuai dengan karakter, kepribadian, serta
kebudayaan Indonesia dibandingkan dengan hukum lainnya, baik rechstaat, rule
of law maupun Nomokrasi Islam.
Sebagai
sebuah negara yang baru seumur jagung, kalau dibandingkan dengan negara hukum
yang mapan lainnya, negara hukum Indonesia sebaiknya jangan serta merta
mengikuti pola negara hukum yang ada di negara lain, tapi harus selalu berusaha
menjaga keaslian budaya, atau bahkan lebih baik dilakukan perkawinan antara
hukum yang yang datang dari luar dengan hukum yang hidup dan berkembang dalam
msyarakat Indonesia itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta
: Bhuana Ilmu Populer, 2007;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar